Oleh: Lita Mariana
Keberhasilan pendidikan (tak hanya di sekolah) bertumpu pada 3 sudut segitiga: murid (pelaku pembelajaran), orangtua, dan guru (sekolah). Ketika salah satu sudut tidak berfungsi optimal, segitiga akan menjadi timpang. Pelaku utama layak mendapat porsi pertama dibicarakan, jadi saya akan berbagi pendapat saya tentang idealnya murid.
Ideal tak harus super
Idealnya murid, menurut saya, tak perlu yang masuk kategori super alias segala bisa. Bahasa Inggris casciscus, Matematika gemilang, Fisika dahsyat, Kimia sedap, Biologi lancar jaya. Siapa tak ingin punya murid seperti ini. All-rounder. Raportnya pasti indah dan membanggakan.
Ibarat tanaman, kata seorang murid saya, sekolah bukan mendapat biji tapi pohon. Tak ‘perlu’ dirawat sudah tumbuh sendiri. Tak usah diurus sudah maju sendiri. Ikut lomba ini-itu dan menang. Maju olimpiade internasional saat masih belia. Tentu senang punya murid seperti ini. Mengharumkan nama sekolah dan mampu membuka jalannya sendiri. Tapi bukan itu yang dimaksud dengan pendidikan. Bukan itu yang terpenting dan menjadi tujuan pendidikan.
Murid ideal bukan secemerlang apa murid di sebanyak mungkin bidang yang bisa diraih.
Tapi tentang proses belajarnya sendiri. Tentunya, evaluasi proses belajar terekam berupa nilai di raport, baik kemampuan akademik maupun psikomotor dan perilaku di kelas. Yang paling penting adalah anak belajar dan menjadi lebih baik melalui proses pembelajarannya.
Matang jiwa
Pendidikan adalah tentang menghantar peserta didik dalam menjadi pribadi yang lebih baik. Dari sisi akademik, kepribadian dan kematangan jiwa. Ketika akademik sempurna namun kepribadian rapuh, tekanan ujian dapat membuat anak stres berlebihan. Atau bersikap pongah karena mengukur teman dan gurunya dari sisi akademik saja. Yang di ’bawah’nya tak berharga. Hidup berorientasi nilai.
Jangan salah, tak hanya yang pintar saja yang begini. Yang tidak tergolong murid cemerlang juga diam-diam ada yang pongah. Menurut sebagian ini, tak penting didapatnya dari mana. Yang penting nilainya baik dan lulus. Tak heran ada yang masih dapat membusungkan dada menyebut nilai ujian nasional dengan bangga padahal semua temannya juga tahu bagaimana ia mendapatkannya.
Ketika anak memiliki kepribadian kuat dan jiwanya matang, kekurangan akademik dapat diatasinya dengan baik dengan memasrahkan diri pada usaha yang lebih banyak dan kelonggaran hati yang lebih besar andaikan nilai yang didapat masih tidak mencapai target yang diinginkannya. Murid golongan ini punya kadar gengsi yang cukup. Cukup gengsi untuk malu menyontek dan berbuat curang. Dan cukup mau menahan gengsi untuk mengakui bahwa dirinya masih ’kurang’ sehingga bersedia bertanya dan minta bantuan.
Semangat hidup
Di kepala saya, yang terbayang tentang murid yang saya idamkan adalah murid yang SEMANGAT. Ini adalah hidup yang ia jalani. Jalan yang dipilih pada tahap kehidupannya yang ini adalah dengan bersekolah di sini. Dan saat ini bertemu saya di kelas. Semangat hidup yang mengalir dapat terasakan oleh saya dan memberi energi bagi saya untuk melakukan segala yang terbaik yang saya bisa untuknya.
Mereka yang antusias menjalani hidup yang dipilihnya selalu menarik orang-orang untuk juga menjadi antusias. Suasana menjadi hidup. Menyenangkan berada dalam lingkungan seperti ini. Lelah tubuh tak sepadan dengan puasnya hati melihat kegairahan murid untuk mempelajari hal yang baru. Mampu belajar mandiri, ini adalah salah satu tapak penting bagi kemajuan tahap belajar murid.
Berguna. Sekarang atau nanti.
Saya suka punya murid yang tahu apa yang mereka inginkan dan bersedia memperjuangkannya. Bersedia bertenggang rasa untuk mempelajari ’sampingan’ –yang mungkin baginya belajar fisika tak dirasa perlu karena ia hanya tertarik pada seni instalasi- semata karena dirasanya tak ada hal yang tak berguna bagi capaian mimpinya.
Dan sesungguhnya, tak ada sesuatupun yang tak berguna kecuali jika kita menganggap dan memperlakukannya demikian. Tak jarang terdengar ’Ngapain belajar matematika susah-susah begini, gue cuma mau belajar bisnis!’. Tak terlihatnya bahwa tapak menuju pelajaran bisnis memerlukan logika kokoh, penalaran yang baik serta kemampuan untuk mengenali pola. Di sini matematika menjadi penting. Bukan matematikanya sendiri yang terpenting, tapi apa yang diajarkan oleh matematika: keahlian menganalisa, menggunakan logika dan memecahkan masalah.
Aku dulu, baru dunia!
Tak semua murid mampu menyadari hal ini. Tak semua murid mampu bersabar. Yang ada sepanjang kehidupannya bersekolah adalah keluh kesah karena sulitnya batu-batu pijakan yang harus dilewati menuju apa yang ia inginkan. Selama itu ia berkeluh, selama itu ia merasa menderita, selama itu ia merasa dipaksa untuk menjalani apa yang tidak dia inginkan. Tanpa disadari bahwa ia punya pilihan: mengubah kondisi atau mengubah posisi dirinya.
Ketika masalah bertubi datang, kita selalu punya pilihan untuk mengubah kondisi. Kadang, celetuk enteng saya lontarkan jika murid sudah berkeluh panjang (bikin saya juga jadi tak semangat mendengarnya) tentang betapa sulitnya bersekolah di sekolah kami, “Ya sudah pindah saja, nak. Cari sekolah yang lebih gampang. Jangan dibikin susah.” Biasanya akan bersambut dengan alasan bahwa orangtuanya yang ingin, bahwa kesempatan bagi murid IPA lebih banyak, dan sebagainya. Klise dan pasti semua sudah pernah mendengarnya.
Sodorkan kenyataan bahwa itu adalah PILIHAN yang tidak ingin mereka pilih karena tidak menyukai konsekuensinya (atau tidak sanggup). Karena pilihan itu sudah dicoret, tinggal pilihan yang satu lagi: ubah dirinya. Jika segala daya upaya sudah dianggapnya maksimal dan tampaknya tak terdapat kemajuan, setidaknya ia perlu menyadari bahwa ia harus menurunkan ’standar’ penilaian terhadap dirinya sendiri. Ia harus sadar bahwa mungkin kemauannya tak realistis.
Ada dua pilihan yang dapat ditawarkan kalau murid punya target yang lebih tinggi daripada kemampuan diri: 1. Perbanyak usaha. Berlarilah sampai rasanya tak sanggup lagi berlari. Sampai nafas hampir habis. Total. Tanpa menyisakan sedikit ’setengah’. 2. Turunkan targetnya. Sesuaikan ke tingkatan di mana kamu nyaman menjalaninya.
Tentu masing-masing ada konsekuensinya. Pilihan 1 cocok untuk yang ambisius dan mandiri. Pilihan 2 cocok untuk yang santai dan ingin ’menikmati hidup’ dengan caranya sendiri. Biarkan mereka memilih sendiri. Dan biarkan mereka menikmati konsekuensi pilihannya.
Sadarkan bahwa tak selamanya diri kita bisa mengubah dunia. Bahkan, jika kita tak mau memulai dengan mengubah diri sendiri, mengubah dunia bukanlah suatu kemungkinan. Mustahil. Kecuali karena mukjizat atau keajaiban, dunia tak bersimpuh di hadapan seorang manusia tanpa usaha. Bahkan mukjizat pun terhantar pada manusia yang tertempa keimanannya.
Murid yang ideal adalah murid yang mampu bertenggang rasa. Mampu menerima bahwa guru yang mengajarnya punya peluang untuk berbuat salah. Mampu menerima kritik bahwa ada sisi-sisi dirinya yang masih dapat diperbaiki. Mampu menerima bahwa di tengah sistem yang tidak sempurna, selalu ada yang dapat diraih sebagai sarana memajukan diri. Mampu melihat kelebihan di antara kekurangan. Mampu melihat indahnya bintang di kelamnya malam.
Tak semua murid mampu melakukan semua ini sendirian. Tak semua orang mampu menyadarkan dirinya. Di sinilah peran penting guru selain mengampu mata pelajaran: MENDIDIK. Uraian bersambung pada tulisan berikutnya mengenai sosok guru ideal.
June 7th, 2010 at 1:16 pm
[...] Tulisan ini juga dimuat di AksiGuru.org di sini. [...]
June 23rd, 2010 at 10:15 pm
murid ideal adalah murid yang memiliki semangat untuk diajar dan sedia dibangun untuk percaya diri. Kebanyakan hambatan mereka adalah tidak mempercayai mereka punya segudang potensi. Yang mungkin potensi mereka belum tergali atau lepas dari pengamatan guru dan orang tua. Setuju itulah tugas guru membangun murid yang ideal. salam edukasi.