Pendidikan karakter mulai terdengung secara hebat. Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi sangat mendesak untuk diterapkan. Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Pendidikan karakter merupakan tema strategis yang memang amat kontekstual dengan situasi kekinian yang dinilai makin abai terhadap persoalan-persoalan akhlak dan budi pekerti. Degradasi moral dan involusi budaya telah menjadi fenomena rutin yang makin menenggelamkan kemuliaan dan martabat bangsa. Perilaku kekerasan, vandalisme, korupsi, dan berbagai perilaku tidak jujur lainnya telah menjadi sebuah kelatahan kolektif. Tak ayal lagi, negeri ini tak lebih dari sebuah pentas kolosal yang menyuguhkan repertoar tragis, pilu dan menyesakkan dada.
Kita harus berbangga, bangsa dan negeri yang besar ini mempunyai dan mewarisi nilai-nilai genuine yang secara historis telah membuat kesejatian diri bangsa menjadi lebih terhormat dan bermartabat. Tanpa bermaksud untuk tenggelam ke dalam romantisme masa silam, yang jelas mari kita belajar pada nilai-nilai kearifan lokal masa silam sebagai basis perilaku untuk memasuki pusaran arus global yang makin rumit dan kompleks, sehingga bangsa kita sanggup menjadi bangsa yang maju dan modern tanpa harus kehilangan pijakan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Negeri kepulauan yang memiliki kemajemukan dalam soal etnis, bahasa, budaya, ras, dan berbagai kekuatan primordial lainnya itu sejatinya bisa membangun sebuah kesenyawaan peradaban yang menggambarkan mosaik keindonesiaan yang toleran, demokratis, bermartabat, berbudaya, dan beradab.
Misbahul Huda dalam sebuah opininya menyitir, membangun kembali karakter bangsa ini akan efektif jika melalui jalur pendidikan. Namun, hal itu harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Mulai keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sebab, pendidikan karakter mencakup pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan kepengamalan nilai secara nyata. Dari gnosis sampai ke praksis. Singkatnya, pendidikan karakter adalah membimbing orang untuk secara sukarela mengikatkan diri pada nilai. Terdapat tiga hal penting yang mesti diperhatikan dalam pendidikan karakter. Yakni, pembiasaan, contoh atau teladan, dan pendidikan/pembelajaran secara terintegrasi.
Saya sependapat dengan ajakan, setidaknya, ada tiga hal penting dan mendasar yang perlu segera diagendakan agar pendidikan karakter benar-benar bisa diimplementasikan ke dalam institusi pendidikan kita. Pertama, membangun keteladanan elite bangsa. Sudah lama, negeri ini telah kehilangan sosok negarawan yang bisa menjadi teladan dan anutan sosial dalam perilaku hidup sehari-hari. Kedua, memberdayakan guru. Sesungguhnya bukan hanya semata-mata tingkat kesejahteraan yang dibutuhkan guru, melainkan juga pemberdayaan dari ranah kompetensi yang selama ini masih menyisakan tanda tanya. Empat kompetensi –profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial– yang menjadi syarat wajib bagi guru profesional belum sepenuhnya bisa diimplementasikan dalam perilaku dan kinerja guru sehari-hari. Belum lagi persoalan perlindungan dan advokasi terhadap kinerja guru yang dianggap masih lemah, sehingga guru belum sepenuhnya mampu menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Ketiga, dukungan lingkungan sosial, kultural, dan religi terhadap keberlangsungan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan.
Ki Supriyoko mengajak, saatnya kita kembali ke pendidikan Indonesia, pendidikan konsepsi Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan itu harus berlangsung dalam suasana keluarga dengan pendidik sebagai orang tua dan anak didik sebagai anak. Pendidikan itu dilakukan dengan rasa kasih sayang (love), keikhlasan (sincerely), kejujuran (honesty), keagamaan (spiritual), dan suasana kekeluargaan (family atmosphere). Moral pendidik bukanlah pegawai pemerintah atau yayasan, tetapi orang tua yang mengasuh anaknya. Benar, mari kita wujudkan pendidikan karakter secara nyata, tak hanya mengapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika belaka.
I Putu Sudibawa,
Guru Kimia SMAN 1 Sidemen, Karangasem
Jalan Puputan No. 27 Semarapura Klungkung
October 29th, 2010 at 3:36 pm
Setuju dan jempol buat pak putu,
artinya kita ( baca anggota DPR) tidak perlu jauh ke yunani hanya untuk belajar etika. karena bangsa indonesia memiliki nilai-nilai genuine yang secara historis telah membuat kesejatian diri bangsa menjadi lebih terhormat dan bermartabat.
uang anggaran studi banding bisa dialihkan untuk membangun sekolah sekolah yang bermutu dan memiliki daya saing sehingga tercipata generasi yang mandiri dan tidak cengeng…..