Anak kedua saya, Daud, baru memulai permainannya di komputer. Saya duduk di seberangnya, juga ‘bermain’ dengan komputer. Daud ‘bermain’ di Kidzui (web browser khusus untuk anak-anak) saja, bunda bermain di mana-mana.
Daud: “Bunda mau mainan yang mana?”
Bunda: “Bunda mau yang Daud mau saja”.
Daud: “Daud mau main yang kuda”.
Bunda: “Kudanya besar atau kecil?”
Daud: “Kudanya besal”.
Bunda: “Warnanya apa?”
Daud: “Walnanya coklat”
Bunda: “Kudanya bisa lari?”
Daud: “Bisa”
Bunda: “Kudanya bisa belok?” [pertanyaan 'standar' yang diajukan Daud untuk benda yang belum dikenalnya]
Daud: “Bisa belok”
Bunda: “Bisa terbang, ngga?”
Daud: [menggeleng] “Ngga bisa”
Bunda: “Kenapa?”
Daud: “Kudanya ngga punya baling-baling, ngga ada tombolnya”
Bunda: [menahan, perut mulai sakit] “Ooo… ngga ada tombolnya?”
Daud: “Iya. Kemalen stlobeli ada tombolnya”
Bunda: [makin sakit perut] “Ada tombolnya?”
Daud: “Iya”
Bunda: “Stroberi bisa terbang?”
Daud: “Stlobeli bisa telbang. Kuda ngga bisa”
Bunda: … [tak melanjutkan percakapan, betul-betul sakit perut menahan tawa]
Mungkin tak hanya bajaj, metromini dan becak yang sulit diperkirakan akan belok ke mana. Percakapan dengan balita juga.
Saya lupa, tidak memperhitungkan murid-murid saya. Belajar bersama mereka, dari kimia bisa merembet ke modeling, permen karet, jaket Kevlar, tulisan tangan, pilihan jurusan di perguruan tinggi, narkotika, dan lain-lain.
Mengajar, bagi saya, lebih banyak berarti belajar daripada mengajari. “Kenapa keton bisa tidak punya ikatan hidrogen? Asam karboksilat dan alkohol kan bisa?”, “Kenapa ada aturan oktet tapi tidak semua senyawa mengikuti aturan oktet?” dan segala ‘mengapa’ lainnya. Pertanyaan yang tidak terpikir saat saya masih SMA dulu, ketika saya ‘terima saja’ semua yang diajarkan tanpa mempertanyakan.
Mengajar, bagi saya, berarti ujian. Belajar sebelum tiba waktunya masuk kelas dan saya ‘diuji’ saat mengajar. Belajar mengenali kesalahan dan menjelaskan bagaimana kesalahan yang sama dapat terjadi pada mereka. Belajar mengenali kekuatan masing-masing murid dan berusaha memuji usaha serta capaiannya.
Mengajar dan bergaul dengan remaja SMA tak pernah membosankan. Banyak tikungan mengejutkan, selalu ada cerita baru setiap hari, dan harus selalu ada cara baru untuk membuat perhatian mereka yang tadinya teralih ke gosip temannya yang baru saja ‘jadian’ kembali ke mekanisme reaksi adisi etena.
Selalu ada pertanyaan dan jawaban yang mengejutkan. Sederhana. Imajinatif. Tak terduga. Sekira strawberry yang bisa terbang. Betapa menyenangkannya menjadi guru!