Oleh: Lita Mariana
Sekilas lintas, ada saja murid yang berceletuk, “Ribet amat sih pake teori. Udah, ajarin ngitungnya aja gimana.” Atau sesuai dengan menggejalanya bimbingan belajar, “Ngapain susah-susah. Pake cara cepet aja!”. Negeri kita menjadi negeri instan, ketika komentar yang sering tersembur adalah “Gitu aja kok repot”.
Untuk apa repot antre, untuk apa paham teori, untuk apa susah-susah memakai jembatan penyeberangan. Pada kenyataannya, toh menyela antrean tak berbahaya, cepat dan tak selalu diprotes. Menyeberang di bawah jembatan penyeberangan juga tak apa, toh kendaraan bermotor punya rem, mau tak mau mereka pasti mengerem. Dan untuk apa tahu teorinya kalau kita sudah tahu bagaimana cara menghitungnya, apalagi ada cara cepatnya?
Kurikulum nasional kita padat dan standar penilaiannya tinggi. Murid dituntut untuk menguasai banyak sekali pokok bahasan dari banyak mata pelajaran. Tak ada pilihan, tak ada keleluasaan di sekolah negeri. Karena materi dan mata pelajaran yang harus diajarkan banyak sedangkan waktu belajar hanya 5 hari, murid harus banyak belajar sendiri. Terutama untuk yang ‘bisa dibaca sendiri’, biasanya bagian teori. Padahal hitungan bisa dilatih, sedangkan penguasaan teori butuh bimbingan dari gurunya.
Ini menjadi kelemahan yang penting ketika murid (terutama tingkat SMA) hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ketika berhitung diperbolehkan menggunakan kalkulator dan tabel periodik serta deret Volta tak perlu dihafalkan dan penguasaan dasar teori lebih penting, logika pemecahan masalah lebih dikedepankan daripada masalah hitungan.
Hitungan dapat diselesaikan oleh komputer namun data tetaplah data, tak akan menjadi informasi yang berguna jika tak diolah oleh manusia. Jika hasil perhitungan arus listrik dari PLN untuk rumah saya menghasilkan nilai 200 Ampere, (saat ini) logika manusialah yang dapat berkata itu salah. Hasil hitungan kalkulator benar, tapi nilainya tidak realistis. Dan bobot kurikulum kita tidak bertumpu di analisa dan pemecahan masalah seperti ini.
Ketika dasar teori cukup kuat, kerumitan hitungan dapat diurai dan penyelesaiannya dapat dibantu alat hitung. Namun jika arah pertanyaan dan dasar teorinya goyah, kita hanya mendidik mesin hitung. Cepat, akurat, canggih, tapi arahnya ke mana dan tujuannya apa?
Film 3 Idiots tak hanya berisi romansa dan komedi, tapi juga drama pendidikan. Tidak hanya kritik terhadap sistem pendidikan India namun Indonesia juga dapat mengambil hikmahnya. Ketika kita sibuk berlomba menjadi nomor satu, yang terbaik, namun tak mengerti apa sebetulnya yang dipelajari (semata menghafal) dan arahnya ke mana, ya kita hanya akan menjadi peserta lomba. Sudah menang lomba, lalu untuk apa?
Pemenang Olimpiade Sains Nasional, peraih medali olimpiade internasional, akan dikemanakan di negeri ini? Tak perlu heran jika mereka ‘lari’ dari genggaman negeri ini. Mereka tak mendapatkan arah, manfaat dan penyaluran di sini. Mereka bukan mesin hitung, mereka mencari arti ilmunya.
Tak akan berubah jika kita hanya berpasrah. Langkah-langkah pertama selalu tak mudah. Kaku. Namun pertanyaan ‘mengapa’ dapat menjadi awal agar murid mengerti apa yang mereka lakukan dan untuk apa. Bagaimana menghubungkan apa yang mereka pelajari dengan kehidupan kesehariannya. Bagaimana caranya membuat es krim dan mengapa pengadukan yang terus menerus dapat membuat es krim menjadi lebih lembut. Mengapa bisa begitu? Reaksi, ikatan kimia dan proses kristalisasi dapat menjelaskannya.
Teori itu penting. Bukan segalanya, karena jika teori tak dikembangkan menjadi aksi ia hanyalah baris-baris kalimat dalam buku. Bimbingan belajar tak dapat melakukan ini. Hanya guru yang bisa. Dan inilah peran sekolah yang sebenarnya: mendidik. Hanya dengan begini murid dapat merasakan manfaatnya bersekolah dan tak lagi berkata “Les di sekolah, sekolah di bimbel.”
Mari kita mulai dengan bertanya, “Mengapa demikian?”. Berlanjut dengan bagaimana, kapan, di mana, dan sebagainya. Dan ini harus dimulai dari kita, gurunya. Kitalah yang harus tahu lebih dulu alasan, analisis dan penerapan topik pelajaran yang kita ampu. Jika bukan kita, siapa lagi?
March 2nd, 2010 at 1:41 pm
Setuju, begitu pentingnya arti seorang guru. Guru yang sejati sedia memperbaharui metode dan cara belajar, guru yang sejati sedia menambah ilmu memiliki sikap mau belajar dan sedia belajar, guru yang sejati selalu mencari hal-hal yang penuh dengan kreatif dan inovatif, terlebih sedia berbagi (sharring) tentang yang ia tahu. Karena realitasnya ilmu setiap hari berkembang baik kualitas dan kuantitasnya. Mari kita mulai dari kita, guru perbaiki personality kita dan meningkatkan kompetensi untuk menanamkan karakter anak bangsa yang mulia. Sukses Ibu Lita.
March 4th, 2010 at 3:24 pm
terima kasih tulisannya sangat bagus.