Oleh: Nasib TS
Dunia pendidikan kita sedang melakukan hajatan besar: Ujian Nasional (UN) tingkat SMA dan SMK sederajat, menyusul SMP dan SD. Namanya ujian nasional, karena itu pelaksanaannya dilakukan tidak hanya serentak di seluruh negeri, namun harapannya bisa menjadi alat mengukur kualitas akhir dari proses pendidikan dasar maupun menengah kita.
Kita semua tahu, bicara kualitas, dihadapkan pada rata-rata kualitas pendidikan di tingkat ASEAN sekali pun kita masih jauh tertinggal. Bahkan dibanding Vietnam, kita masih di bawah. Kondisi pendidikan nasional yang hancur, sudah terlalu lama kita mengalaminya. Sudah bertahun-tahun, keprihatinan itu disuarakan para pakar dan pemerhati pendidikan. Namun kualitas pendidikan tidak beranjak.
Dalam berbagai polemik, pemerintah dituding kurang peduli—kalau tidak ingin disebut lalai—memerhatikan pendidikan. Harapan terkabulnya komposisi anggaran pendidikan 20 persen, terlalu lama direspon. Belakangan ada kemajuan dari sisi anggaran dengan adanya peningkatan anggaran dialokasikan untuk kesejahteraan guru. Teorinya, dengan meningkatkan kesejahteraan guru, diharapkan kualitas pendidikan menjadi lebih baik. Kompetensi guru dipacu, pemerintah menggunakan program sertifikasi sebagai syarat standarisasi guru.
Ternyata anggaran juga bukan satu-satunya problem membenahi kualitas pendidikan kita. Selain anggaran, ternyata kita juga memiliki sistem evaluasi dan penilaian yang obyektif dan akurat untuk mengetahui hasil akhir proses pendidikan kita. Salah satunya, sistem pengelolaan UN yang beberapa tahun terakhir ini masih menjadi perdebatan sengit antara pusat dan daerah.
Sebelumnya, sistem penilaian kelulusan siswa ditentukan standarisasi UN yang mengundang banyak protes kalangan guru. UN yang-sebelumnya—mendominasi dalam penetapan standar kelulusan siswa dianggap semena-mena dan tidak adil. Tidak adil karena menyamaratakan kemampuan—termasuk kemampuan pengadaan fasilitas sekolah— di setiap daerah.
Faktanya, banyak sekolah di daerah yang tidak hanya minim fasilitas, tapi juga minim guru berkualitas. Berbeda dengan sekolah di ibukota atau sekolah-sekolah di kota yang relatif lebih maju. Namun standarisasi penilaian UN tidak ‘menghitung’ perbedaan itu dan yang paling disesalkan, mengabaikan, penilaian guru yang telah mengajar siswa bertahun-tahun.
Belum lagi, perangkat SDM yang belum siap mengoperasikan sistem teknologi penilaian UN. Tahun lalu, penilaian begitu kacau. Seorang juara kelas, tidak lulus, bahkan hampir satu kelas tidak lulus karena diduga ada yang salah saat melakukan penilaian dengan sistem komputerisasi.
Kekacauan itu sempat membuat panik para penyelenggara sistem UN dan kemudian dievaluasi. Hasilnya, ditemukan formula baru penilaian UN yang memberi hak pada sekolah melakukan penilaian. Mengintip salah satu situs pendidikan, tahun ini pemerintah telah menetapkan formula kelulusan siswa yang mengacu pada hasil evaluasi sebelumnya.
Kelulusan siswa tahun 2012 terletak pada pembobotan nilai 40% untuk nilai sekolah/madrasah/ dan 60% untuk nilai UN. Nilai Sekolah/Madrasah diperoleh dari gabungan nilai ujian sekolah dengan nilai ujian rata-rata raport:
-Untuk SD/MI/SD-LB semester VII sampai dengan semester XI
-Untuk SMP/MTs dan SMP-LB semester I sampai dengan semester V
-Untuk SMA/MA dan SMA-LB Semester III sampai dengan semester V
-Untuk SMA Semester I sampai dengan semester V.
Dengan pembobotan bahwa: 60% untuk nilai ujian sekolah dan 40% untuk nilai raport. Nilai gabungan Ujian sekolah dan Nilai rata-rata raport ini disebut dengan Nilai Sekolah (NS) atau Nilai Madrasah (NM) atau NS/NM yang pada akhirnya akan dipertimbangkan untuk Penentuan Kelulusan Siswa.
Apa pun rumusnya, kita berharap sistem penilaian UN kali ini lebih baik dari sebelumnya. Sejauh ini belum ada suara miring tentang sistem penilaian UN yang diterapkan. Mudah-mudahan, UN tahun ini menjadi awal penyempurnaan dan kebangkitan kualitas pendidikan kita yang terpuruk. Semoga!*
April 27th, 2012 at 9:29 am
koq gabungan nilai ujian sekolah untuk nilai rata-rata raport di SMK belum tercatat, ?!, salah ketik mungkin.
Penilaian sistem UN memang baik, tapi kenyataan di sekolah untuk menghadapi UN sangat beragam dan berbeda, siswa-siswi disekolah dijejali dengan test-test yang sangat banyak, uji kemampuan, uji coba, uji ini, uji itu dan lain-lain, namun penambahan materi pada siswa-siswi kurang diperhatikan, hanya yang di UN kan saja yang dipelajari, dan mengabaikan pengetahuan yang lainnya, apa seperti ini sekolah kita hanya mengejar UN saja, akibatnya siswa-siswi kurang memperhatikan ilmu pengetahuan non UN, saya sangat prihatin mengenai hal ini, apa pemerintah melihat hal ini. apa pengetahuan yang didapat siswa-siswi SMA/SMK sudah maksimal ? Semester V dan VI, hanya diisi untuk menghadapi UN, tanpa memperhatikan kepentingan pengetahuan Non UN, sungguh sangat dilematis Pendidikan kita, kemana arahnya kurang jelas, apa yang didapat tak maksimal, hanya ingin LULUS 100% UN, dan pelajaran lainnya tak begitu penting. Ironis Pendidikan kita di Indonesia ini, moga Pemerintah, Guru dan Masyarakat bisa terlibat dalam menentukan kebijakan Pendidikan di Indonesia agar Pendidikan kita Maju. Amiin. jauhkan pendidikan dengan rekayasa proyek UN yang menelan biaya ratusan milyatan rupiah.