Oleh: Pendi Haryono
Ada kecurigaan dunia pendidikan kita sudah mengalami pergeseran orientasi. Lembaga pendidikan bukan lagi sarana pengabdian mencerdaskan bangsa, melainkan sudah menjadi ajang mengeruk keuntungan. Pertumbuhan penduduk negeri ini yang sudah mencapai angka 300 juta, merupakan lahan bisnis menggiurkan, termasuk bagi pengelola lembaga pendidikan. Setidaknya dari kacamata bisnis, pertumbuhan penduduk sebagai peluang menyediakan sarana layanan pendidikan anak-anak. Sekolah negeri? Tentu tidak mencukupi. Guna memenuhi kebutuhan tersebut, sekolah swasta bermunculan.
Dengan tidak menyebut nama, sejumlah sekolah atau perguruan tinggi berlomba memperkenalkan diri pada publik setiap tahun ajaran baru. Mereka pamer keunggulan melalui tebar brosur, pasang baliho sampai beriklan di media massa. Ada pula yang mengikat calon pelajar atau mahasiswa dengan berbagai program tambahan seperti tur luar negeri dan paket kegiatan lainnya.
Cara merekrut yang mereka tempuh merupakan strategi bisnis. Dengan ungkapan lebih ekstrem, telah terjadi praktik kapitalisme pendidikan. Lihatlah iklan-iklan promosi pendidikan setiap tahun ajaran baru. Banyak ditemukan bunyi slogan promosi yang kapitalistik: ”Lulus dijamin langsung kerja, kalau tidak uang kembali!” Banyaknya sekolah bergaya industri seperti yang diiklankan itu semakin memperparah citra dunia pendidikan kita yang cenderung lebih berorientasi pada pengakumulasian modal daripada pemenuhan kualitas pelayanan akademik.
Bisnis Pendidikan
Pendidikan jadi ajang bisnis? Mungkin saja. Hal itu bisa dilihat dari pungutan uang pembangunan yang mahal. Sayangnya terkadang tidak dibarengi dengn kontribusi setimpal bagi kemajuan pendidikan. Memang semua itu tergantung. Bila mau jujur, semua lembaga pendidikan dengan badan hukum yayasan seharusnya tidak boleh berbisnis, tapi karena operasional sekolah swasta yang mengeluarkan biaya sendiri, maka wajartlah bila memungut bayaran yang disesuaikan.
Menurut undang-undang, yayasan sosial—termasuk yang bergerak di dunia pendidikan—tidak dibenarkan berbisnis. Namun sekolah berbisnis sah-sah saja asal dibarengi kualitas yang setimpal dengan biaya yang dikeluarkan orangtua siswa. Kemudian bila ada sekolah berbisnis wajib dikenakan pajak sesuai dengan undang-undang. Di luar negeri, bisnis pendidikan malah sudah diterapkan dan tidak ada masalah. Namun idealnya di negeri kita, lembaga pendidikan harus lebih mengutamakan fungsi sosial yang bisa diterapkan melalui berbagai program.
Salah satunya program subsidi silang, orangtua asuh. Dalam program ini, sekolah menampung anak tidak mampu dengan bantuan orangtua siswa yang mampu. Apalagi kita melihat ada kecenderungan sebagian tokoh-tokoh politik, ekonomi dan birokrat berinvestasi di bidang pendidikan. Ada lembaga yang berkedok untuk kepentingan masyarakat, tapi praktiknya lebih bisnis.
Butuh Komitmen
Mengembalikan lembaga pendidikan pada fungsi sosial dan arah yang benar, butuh komitmen kuat. Promosi pendidikan dengan iming-iming dapat kerja sesuatu yang perlu dikoreksi. Pendidikan bukan sekadar mempersiapkan generasi penghuni pabrik, apalagi regenerasi PNS. Sekolah merupakan uapaya bagaimana memanusiakan manusia.
Proses tersebut bukan hal sederhana. Butuh komitmen kuat dari setiap komponen pendidikan, khususnya pemerintah, bagaimana memposisikan pendidikan sebagai investasi jangka panjang dengan produk manusia masa depan yang andal, kritis, dan bertanggungjawab. Kalau pendidikan hanya diposisikan sebagai pelengkap dunia industri, maka bisa jadi manusia-manusia Indonesia ke depan adalah manusia yang kapitalistik.
Akibat lebih jauh promosi pendidikan bergaya industri, masih banyak masyarakat memandang dunia pendidikan sampai hari ini seperti institusi penyalur pegawai negeri sipil (PNS). Indikasi dari pandangan tersebut bisa dilihat bagaimana animo masyarakat yang cukup tinggi ketika pembukaan pendaftaran calon PNS, seolah gelar akademik yang mereka capai hanya cocok untuk kerja kantoran. Pandangan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingkat pengangguran kaum terdidik setiap tahunnya bertambah. Kesalahan motif sebagai akibat dari perilaku sekolah yang kapitalistik akhirnya banyak melahirkan kaum terdidik yang bermentalitas gengsi.
Tidak Mudah
Di berbagai forum, kalangan pengamat pun sebenarnya sudah lama mencemaskan hal ini. Bila kondisi orientasi pendidikan bergerak sebagai ajang bisnis, dampaknya yang kaya mudah untuk mendapatkan pendidikan dengan berbagai fasilitas, sementara yang marginal cukup mendapatkan pendidikan murahan dan pinggiran. Keadaan ini jelas tidak menguntungkan bagi usaha meningkatkan pemerataan derajat kehidupan melalui pendidikan berkualitas. Persoalannya, sulit untuk mencetak SDM yang andal berkualitas, kalau setiap tahun ajaran baru para orangtua pusing memikirkan biaya yang cukup besar untuk dapat diterima di salah satu sekolah berkualitas.
Dalam tataran ini, hukum ekonomi akan berlaku. Untuk mendapatkan pendidikan berkualitas ditentukan kemampiuan orang membayar sekolah bermutu. Karena itulah sekolah menjadi ajang bisnis harus segera dihentikan. Filosofi pendidikan sebagai strategi humanisasi harus dikembalikan, bukan sebagai perangkat baru menarik uang dari anak didik.
Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan lembaga pendidikan kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Meski demikian, mengembalikan pendidikan ke basisnya bukan merupakan pekerjaan yang gampang karena menyangkut aspek yang luas dari kebijakan pemerintah.
Mampukah pemerintah merubah paradigma pendidikan yang berorientasi pada fungsi sosial dan pemerataan pembangunan mencerdaskan bangsa? Memang, kini harapan bisa ditumpukan pada kebijakan sekarang atau yang akan datang. Salah satunya kebijakan meningkatkan anggaran pendidikan dari APBN/APBD. *
-Penulis peminat masalah sosial kemasyarakatan, pendidikan dan lingkungan
August 10th, 2012 at 1:34 pm
Sudah lama hal demikian terjadi di bumi Indonesia ini, ayo bagaimana mengembalikan Pendidikan agar dapat berfungsi sosial dan pemerataan bagi sesama umat di Indonesia nan cantik ini. butuh kedewasaan berfikir dan pengorbanan yang totalitas dalam segala hal, untuk membangkitkan hal tersebut dan jangan lupa tumbuhkan keikhlasan pada diri kita untuk bertindak lebih berempati bagi sesama menuju cita-cita Bangsa kedepan yang lebih baik. Amiin.
By Kas_
November 16th, 2012 at 10:59 am
Pemerintah khususnya pemerintah daerah sebagai pemangku kekuasaan dan kebijakan haruslah memberikan tindakan terkait dengan maraknya pendidikan yang mahal, sehingga pendidikan bukanlah milik orang kaya tapi milik semua anak bangsa, praktik pendidikan yang berbasis bisnis telah menurunkan bahkan menghilangkan nilai-nilai mulia sang guru, guru tidaklah lagi berorientasi pada mendidik dan menularkan ilmu sebagai kewajibannya melainkan mengajar karena konsekuensi materil semata.materi emang dibutuhkan oleh guru tapi bukan berarti menghilangkan nilai-nilai luhur sang guru (orientasi mengamalkan ilmu dan ibadah) janganlah hilang