Oleh: Nasib TS
Sekelompok pelajar berseragam putih abu-abu turun ke jalan bersenjata batu, pentungan dan apa saja. Mereka berwajah beringas, menyerang sekelompok pelajar lain dari sekolah berbeda yang sama banyaknya.
Itulah pemandangan bentrok antarpelajar yang terjadi di Jalan Wahidin Medan, beberapa kurun waktu lalu. Mereka saling menyerang dengan batu, kayu dan apa saja yang bisa melukai kawan. Meskipun peristiwa itu berlangsung sebentar, namun tak urung sempat membuat suasana di sekitarnya mencekam. Untunglah tidak ada korban berarti dalam insiden ini, karena mereka membubarkan diri menjelang polisi datang.
Aksi kekerasan pelajar yang sering kita lihat di televisi, dan ternyata sudah mulai menular ke Sumut, khususnya Medan. Ironisnya, bentrokan antarpelajar itu terjadi hanya beberapa jam setelah Kepala Polda Sumut mengumpulkan 160 pelajar Kota Medan terkait insiden anarkisme pelajar yang tergabung geng motor. Pertanyaannya, mengapa oknum pelajar kita tak ubahnya sekelompok preman yang gemar menebar anarkisme?
Bentrokan pelajar seperti di Jalan Wahidin itu, konon ekor dari masalah sepele. Satu kelompok pelajar diejek kelompok pelajar dari sekolah lain saat sama-sama pulang sekolah. Ternyata masalah berlanjut dengan penyerangan dan bentrokan itu.
Tentu saja aksi kekerasan yang melibatkan dua kelompok yang saling berseteru bukan cuma melanda pelajar Medan. Rajin menontonlah berita televisi. Apa yang mendominasi bayangan di pikiran kita saat mengumpulkan ingatan menonton siaran berita di layar televisi? Bentrokan antar kelompok masyarakat, antarmahasiswa dan pelajar, sudah biasa.
Padahal, kita bangsa besar yang sejak dahlu penduduknya terkenal ramah-ramah dan menjunjung tinggi azas kekeluargaan, tepo seliro dan penyabar, tiba-tiba menjadi bangsa yang pemarah.
Tiba-tiba kita menjadi bangsa ‘pemuja’ kekerasan, membanggakan solidaritas sempit kelompok dan gampang mengobarkan tawuran. Tiba-tiba saja bangsa yang tengah membangun dan menatap modernisasi dunia masa depan, kini menjadi bangsa yang primitif dalam menyelesaikan masalah. Sama primitifnya dengan bangsa zaman baheula ketika tombak, pedang dan panah menjadi senjata berperang.
Kita berharap tontonan kekerasan di televisi segera berakhir. Kita ajak para pemikir untuk mencari tahu, apa sebenarnya yang terjadi di negeri beradab dan dihuni bangsa peramah ini? Kemana hilangnya identitas bangsa yang ramah, toleran dan menjunjung tinggi kekeluargaan? Kalau tidak cepat kita akhiri drama kekerasan ini sejak dini, kita cemas, insiden ini tidak hanya membuat penduduk negeri kehilangan ketentramannya. Kekerasan demi kekerasan akan menginspirasi generasi penerus kita untuk memuja kekerasan ketimbang kearifan menyelesaikan masalah. (*)
May 7th, 2012 at 5:05 pm
Kami juga mengalami muda, kamipun sama dengan anak-anak saat ini, suka berantem saat kami masih remaja, walau dengan cara yang agak berbeda tapi prinsipnya sama.
menurut saya siswa-siswa di Indonesia, perlu hal-hal sebagai berikut :
1. Beri Keteladanan yang baik dari Para Pemimpin, Tokoh Masyarakat, Guru, Orang Tua, Orang dewasa, agar tidak memberi contoh berkelahi secara terbuka.
2. Semua lapisan masyarakat, dan Pemerintah mendorong agar kehidupan bermasyarakat, tolong menolong, gotong royong ditingkatkan perannya, kalau perlu diberikan rangsangan finansial untuk kegiatan itu, tapi dananya jangan disalah gunakan/korupsi dengan berbagai cara.
3. Tayangan televisi yang berbau tawuran kalau bisa dikurangi atau di hilangkan agar contoh yang tidak baik dari tayangan itu tidak diikuti oleh siswa.
4. Pemberian bantuan bagi kepentingan kegiatan sosial untuk kreatifitas bagi anak-anak muda perlu ditingkatkan, baik melalui sarana keagamaan maupun kegiatan olahraga atau kegiatan sosial yang lainya.
5. Tingkatkan perhatian pada siswa dengan memberi rewards bagi yang baik, dan punishments bagi yang salah secara tegas dan lugas. baik melalui media sekolah maupun media non sekolah formal lainnya.
May 21st, 2012 at 4:27 pm
Setuju pak Kasmanto, salam pendidikan