Oleh: Dewi Dewo
Guru adalah pahlawan tanpa bintang jasa, begitu yang selalu didengung-dengungkan orang. Sangat benar. Guru bersedia mencurahkan tenaga, pikiran dan waktu untuk mengasah kemampuan kognitif anak didik adalah perbuatan mulia. Murid menjadi pandai, dari tidak tahu menjadi tahu. Guru membuat anak didik terbebas dari belenggu ketidaktahuan. Tapi apakah membuat murid-murid menjadi pandai saja sudah cukup? Nilai ulangan yang cemerlang, menjadikan murid bintang kelas, apakah cukup? Rasanya sih belum.
IQ dan EQ
Dulu waktu saya masih jadi murid, saya punya teman sekelas yang nilainya ‘nyaris pas-pas an’ saja. Tapi sekarang dia lebih tenar, lebih sukses dari teman-teman lain yang dulu nilainya cemerlang. Dia memang luwes dalam pergaulan, disenangi banyak orang, suka menolong. Mungkin itu gambaran bahwa IQ saja tidak cukup, tapi perlu juga EQ.
IQ memang diperlukan dalam menjalani dunia akademis, tapi untuk bisa sukses dalam kehidupan bermasyarakat, EQ sangat berperan. Karena itu saya yakin bahwa emosi anak didik juga perlu diasah.
Saya pernah membaca sebuah buku karya Bob Wall berj
udul “Coaching For Emotional Intelligence.“ Buku ini termasuk kategori buku psikologi manajemen SDM. Walaupun ditujukan bagi para pimpinan puncak dan manager diperusahaan, rasanya pas juga kalau saya berbagi dengan anda semua, sebagai para pendidik.
Mulai Dari Diri Sendiri
Beberapa point yang diutarakan Pak Wall dalam bukunya dalam mengasah emosi seseorang, adalah:
- Pahami diri sendiri
Memahami diri sendiri, apa saja kekuatan dan kelemahan diri sendiri adalah langkah awal dalam mengasah emosi orang lain. Dengan memahami diri sendiri, terutama titik-titik kelemahan yang bisa membangkitkan emosi (negative) kita menjadi lebih siap. Jika dikritik anak buah (atau dalam hal ini anak didik) reaksi apa yang kiranya muncul : malu, marah, atau defensifkah?
Pemahaman ini juga perlu diikuti dengan memikirkan pengontrolan diri. Maksudnya, kalau kita tahu reaksi-reaksi yang muncul bagaimana kita mengontrol diri ketika emosi (negative) itu muncul. Artinya, malu atau marah, itu boleh karena bersifat alami, tapi bagaimana menampilkan kemarahan atau rasa malu dengan cara yang benar. - Berempati
Langkah berikutnya adalah berempati, atau berusaha menempatkan diri kita pada situasi yang orang lain hadapi. - Kemampuan komunikasi
Bila ketiga hal tersebut sudah kita pahami, kita juga perlu belajar menyampaikannya dengan baik, berperilaku social dengan tepat, sehingga diri kita bisa diterima oleh orang lain disekeliling kita. Jika suatu saat kita berbeda pendapat, ada yang mati-matian menyanggah opini kita, kita tetap bisa mempertahankan diri dengan cara yang luwes, bahkan bisa mempengaruhi orang yang berbeda pendapat ini untuk menerima, setidaknya, sebagian opini kita.
Pak Wall sangat menekankan, bahwa seorang tokoh pemimpin perlu mengasah inteligensi emosinya lebih dulu, sebelum ia bisa mengasah emosi anak buah, atau dalam hal ini emosi anak didik.
Jangan Sekedar Kejar Target
Banyaknya materi pelajaran yang harus diajarkan membuat para guru seringkali merasa kehabisan waktu untuk menyelesaikan target paket yang harus diajarkan. Tapi, ini bukan alas an untuk menganggap para murid hanya sekelompok massa yang sama rata. Setidaknya, pasti ada satu atau dua murid yang memerlukan perhatian khusus. Anda bisa mulai dengan memperhatikan mereka yang sering menimbulkan keonaran, yang nilainya jelek, yang suka bolos. Bisa jadi, apa yang diperbuat berpangkal pada ketidakmampuan mereka mengungkapkan diri secara tepat.
Jika anda sudah merasa melakukan saran Pak Wall, kini giliran anda menerapkannya pada murid-murid semacam ini. Pahami siswa-siswa itu, dan ajarkan mereka juga memahami dirinya. Cobalah berempati pada mereka, dan ajarkan mereka berempati pada anda. Lalu, arahkan bagaimana mereka berperilaku sosial (setidaknya dalam lingkungan sekolah, diantara teman-temannya) dengan baik.
Proyek Layanan Masyarakat
Melibatkan murid dalam proyek kecil yang bersifat melakukan layanan masyarakat mungkin langkah berikut yang bisa dicobakan. Apa pun target dari proyak ini, sebaiknya diawali dengan diskusi bagaimana reaksi emosi anak didik yang akan diajak serta. Jika ada penolakan, kita perlu mendengarkan apa saja alasannya. Lalu, kita upayakan bagaimana mengubah persepsi mereka yang tidak sejalan itu dengan membeberkan manfaat dari kegiatan bersama ini.
Jika murid dibagi dalam kelompok kecil, setiap anggota kelompok perlu saling memahami teman kelompoknya, bagaimana masing-masing bereaksi terhadap teman kelompoknya. Bagaimana kalau ada anggota kelompok yang mau menang sendiri, atau yang setengah hati dan tidak mau mengerjakan tugas bagiannya. Lagi-lagi, yang bisa menjadi penengah bagi mereka yang saling berbeda ini adalah tujuan akhir dari proyek yang anda buat. Bagaimana bisa mengupayakan kompromi sehingga terbentuk sebuah kelompok yang lebih solid.
Pengalaman berhadapan dengan guru, sesama teman, dan keterlibatannya dalam melakukan aktivitas semacam ini diharapkan tidak saja mengasah siswa menerapkan ilmu yang sudah dipelajari di kelas, tapi juga pengalaman yang akan mengasah emosinya.
*Penulis adalah Editor at Large Femina Group
January 13th, 2010 at 2:48 pm
Setuju sekali dengan memahami lebih dini, seperti apakah diri sendiri, dan sedia mengubah diri kepada hal yang lebih baik pasti dapat menerapkan dan mengembangkan SDA dan SDM. Semangat yang Bu Dewi, saya sangat respek terhadap kemampuan ibu menjadi salah satu juri CSF. saya peserta yang tidak pernah absen ikut even ini lho .
May 3rd, 2012 at 1:46 pm
Jika IQ, EQ dan SQ sinergi, maka apapun akan dapat dilaksanakan/dikerjakan, untuk menghasilkan sesuatu yang maksimal dan optimal, serta menciptakan kebaikan bagi seluruh umat dan berkah bagi semesta alam. salam edukasi bagi semuanya.