Renungan terhadap Celaan

Oleh: Lita Mariana

Penyelesaian terhadap 4 murid yang dianggap menghina guru adalah dikeluarkan dari sekolahnya. Miris dan menyedihkan. Tak kalah menyedihkan jika melihat artikel-artikel tanggapannya. Bahwa pendidikan kita sudah usang. Bahwa guru dan murid harus setara.

Pesan saya kepada murid dapat disingkat: Anakku, jaga mulutmu/jarimu (agar tidak mengetik sebelum berpikir). Dan pesan saya kepada para rekan juga singkat: Jaga citramu. Karena ini adalah ‘area’ guru, pendapat saya akan dibatasi dari sudut pandang guru saja.

Celaan tetap adalah suatu celaan. Walaupun guyon. Ketika dikritik, bahwa guyonan kok ditanggapi serius dan bahwa ‘guyon tapi serius ini melanggar peraturan’ patut dipertanyakan peraturan yang mananya, saya rasa kita memang memiliki masalah serius.

Mengapa harus ditanya lagi peraturan mana yang dilanggar? Apakah orangtua di rumah punya peraturan tertulis bahwa anak tidak boleh mencela kedua orangtua dan perbuatan demikian akan berakibat sedemikian rupa? Tidakkah norma dan susila cukup untuk menilai apakah guyonan ini pantas atau tidak?

Sebagai guru, saya tidak bersih dari celaan. Twitter, Facebook, obrolan lisan, namanya manusia ya ada saja tempatnya menumpahkan kesal dan celaan. Ada kalanya bercanda, namun ketika diucapkan dengan sungguh-sungguh ada yang perlu dicermati. Sebagai guru, saya akan melihat kepada diri saya sendiri, adakah yang perlu diperbaiki?

Jika bersumber pada ilmu, tentunya tidak perlu dibantah. Saya harus belajar lebih giat lagi dan memperbaiki metode pengajaran agar penyampaian bahan ajar lebih baik.

Jika celaan bersumber pada pribadi, perlu pelihatan jeli ke dua pihak. Bisa jadi memang standar kedisiplinan sang guru terlalu tinggi dan tuntutan kesempurnaannya terlalu sulit dipenuhi murid. Bisa jadi pula, murid terbiasa (terlalu) dimanja sehingga standar kedisiplinan yang biasa-biasa saja dirasa mengekang dan menyulitkan.

Menyikapi celaan, selalu ada pilihan sikap. Ditanggapi atau tidak. Serius atau tidak. Keras atau lembut. Sebagai manusia, guru juga dapat tersakiti hatinya, terlepas dari apakah celaan tersebut benar atau salah. Bahkan jika benarpun dapat disampaikan dengan sopan dan santun sehingga tidak menyakitkan. Jika salah, tentulah ini fitnah.

Apakah akan ditindak serius? Skorsing misalnya. Atau teguran saja sudah dirasa cukup. Teguran keras atau canda? Pihak sekolah dan guru yang dilindunginya mempunyai banyak pilihan sikap. Dan mengeluarkan keempat murid tersebut mungkin dianggap salah satu penyelesaian masalah, walaupun menurut saya masalah tidak selesai. Sekolah angkat tangan, berlepas dari kewajibannya untuk ‘memberi pelajaran DAN tetap mendidik mereka sebagai kelanjutannya’.

Bagaimanapun, guru dan murid, menurut saya TIDAK dapat disetarakan. Seperti halnya kita tidak menyetarakan orangtua dan anak. Masing-masing punya hak dan kewajiban terhadap pihak yang lain. Ya. Tapi setara dalam artian sama? Tidak. Partnership? Ya. Kesejajaran posisi? Tidak.

Orangtua dan guru tetap pada posisinya sebagai ‘yang tua yang bertanggungjawab’. Anak dan murid juga tetap pada posisinya sebagai ‘yang muda yang belajar bertanggungjawab’. Ketika anak dan murid memutuskan melakukan sesuatu dan terjadilah kelakuannya, tanggungjawab ada di dirinya. Orangtua dan guru adalah yang berkewajiban untuk membantu mereka menentukan arah dirinya.

Dari sisi ibu guru pengajar, saya turut bersedih. Bagaimanapun, pastilah sangat menyakitkan hingga celaan tak dapat lagi ditanggapi dengan canda. Dan kawanku para pengajar, masih banyak yang harus kita pelajari dari dunia yang melompat dengan cepat dan agresif ke arah digital ini.

5 komentar to “Renungan terhadap Celaan”

  1. Dyah Sapta Wulandari SMA N 99 Jakarta says:

    Fenomena Facebook & Twitter yang Menghebohkan

    Betapa miris dan menyedihkan sekali kondisi Pendidikan di Indonesia. Demokrasi yang kebablasa dan tanpa etika kelak akan menjadi image yang menakutkan buat dunia pendidikan kita, apabila fenomena yang terjadi sekarang ini tidak ditindaklanjuti oleh para pakar pendidikan di negara kita tercinta. GURU menjadi tempat sumpah serapah seorang siswa ketika guru tidak bisa menjelma menjadi seperti seseorang yang diinginkan oleh siswanya. Padahal sudah jelas bahwa antara GURU dan MURID mempunyai sudut pandang yang berbeda. Tetapi sebagai seorang guru ada asa yang tak pernah terucap bahwa kelak murid-murid kami akan menjadi orang yang berhasil sukses dalam kehidupannya. yang mungkin hal itu tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benak kalian. Memang betul bahwa kami ini juga manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, tapi kalau merk GURU itu sudah terlanjur menempel di pundak kami, maka sepertinya kesalahan tak pantas lagi dilakukan. INTROSPEKSI DIRI, itu yang setiap hari kami lakukan, sehingga dengan penghasilan yang pas-pasan pun kami rela melanjutkan pendidikan S2 untuk memperbaiki DIRI.

    Anak-anakku yang tercinta,….
    Maaf jika mungkin kami ingin membuat kalian menjadi lebih baik…
    Maaf jika kami ingin kalian menjadi lebih pintar,….
    maaf jika kami ingin melihat kalian menjadi orang sukses…
    maaf jika kami ingin kalian mempunyai kehidupan yang lebih baik ketimbang hanya menjadi GURU….
    maaf jika di pundak kalian kami titipkan asa masa depan bangsa ini….

    maaf jika kami terlalu mencintai kalian….

    ……..




  2. nena says:

    Terima kasih ya, Ibu Dyah…
    Saya jadi sedih banget.. dan berharap mudah-mudahan saya nggak mengecewakan guru-guru saya… :)

    Terima kasih bu.. Terima kasih juga untuk semua guru..




  3. ary widi kristiani says:

    Guru memang perlu juga mawas diri. Memang tugasnya mendidik dan mengajar. Menjadi orang tua yang bijak memang sulit. Tetapi harus karena seorang guru yang dapat dipelajari oleh seorang murid adalah keteladananannya.




  4. sri mulyaningsih says:

    Pendidikan moral bangsa tidak hanya tanggung jawab sekolah dimana disana ada guru sebagai teladan mereka, akan tetapi media masa televisi swasta yang sangat banyak dan selalu menayangkan kekerasan, tawuran antar pelajar, mahasiswa, demontrasi mahasiswa yang menghujat orang2, inilah yg ditiru anak2 kita, yang katanya demokrasi, ini bukan demokrasi tetapi anarki. tidak ada sopan santun lagi antara anak dg org tua. sungguh memprihatinkan, pemuda bisa begitu kejam dan beringas menyerang sesama pemuda bangsa masa depan kita semua




  5. kasmanto says:

    Guru perlu intropeksi diri, siswapun demikian, mari sama-sama kita tepo seliro pada sesama, ikut merasakan dan dirasakan pada semua insan. InsyaAllah kita tidak saling mencela.




Tinggalkan balasan