Menyoal Moralitas Pendidikan

Sebuah tulisan di Kompas hari ini cukup menggelitik. Tulisannya bertajuk “Pendidikan yang Menggeli(sah)kan”, dan rekan-rekan sekalian bisa membaca tulisan lengkapnya di tautan ini.

“Pendidikan yang Menggeli(sah)kan” ini ditulis oleh JC Tukiman Taruna, Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, dan mengangkat tema besar ujian nasional, potensi siswa, serta moralitas pendidikan di Indonesia.

Di awal tulisan, bapak Tukiman menyadur 2 paragraf cerita Kak Seto, sebagai berikut:

Alkisah, di hutan belantara yang lebat diselenggarakan sebuah sekolah untuk hewan-hewan dengan mata pelajaran utama berlari, memanjat, terbang, dan berenang, mengingat empat ”ilmu” itulah yang pasti membekali hewan-hewan untuk dapat sintas.

Kucing hitam memperoleh predikat summa cum laude untuk berlari dan memanjat, tetapi ia sangat sengsara dan benar-benar jelek untuk ”ilmu” berenang dan terbang. Si angsa justru kebalikannya, hanya dalam hitungan hari, ia sudah sangat mahir dalam mata pelajaran berenang dan terbang, tetapi benar-benar menderita lahir batin untuk memanjat dan berlari .*

Ketika membaca dua paragraf tersebut, saya pun sontak terpikir bahwa kondisi di “hutan” ini mencerminkan kondisi dunia pendidikan di Indonesia - terutama berkaitan dengan masalah ujian nasional yang cukup problematik. Ada beberapa siswa yang bisa sangat mahir di mata pelajaran Matematika, tetapi mungkin siswa lain merasa pelajaran Matematika adalah akhir dunia bagi mereka. Intinya, setiap siswa mungkin mempunyai potensi yang sama, namun di bidang yang berbeda-beda. Dan hal itulah yang kelihatannya dinafikan dalam pembahasan mengenai ujian nasional.

Dalam artikelnya, pak Sukiman mengutip Mochtar Buchori yang memperingatkan kita agar tidak menggeneralisasi pendidikan yang kemudian menuntut semua siswa untuk sama rata dan sama-sama pandai di bidang yang sama. Padahal, moralitas pendidikan yang sebenarnya “terletak pertama-tama pada model pendidikan yang berpusat pada anak/siswa, bukan berpusat pada pemerintah/kebijakan, guru, ataupun kepala sekolah.”

Pendidikan yang berpusat pada siswa ini akan mendorong siswa untuk mencari tahu lebih banyak mengenai diri mereka dan bidang yang mereka sukai. Harapannya, jika siswa belajar atas dorongan pribadi dan rasa sukanya pada pelajaran, maka pengembangan pendidikan akan berjalan dengan lebih lancar. Guru pun akan lebih mudah untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, namun juga perlu mencari tahu lebih banyak untuk dapat menjawab rasa ingin tahu siswa.

Bagaimana pendapat rekan-rekan sekalian mengenai pendidikan yang berpusat pada siswa?

*baca tulisan Kak Seto dalam Membuka Masa Depan Anak-anak Kita, Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI- editor Sindhunata; Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2000

5 komentar to “Menyoal Moralitas Pendidikan”

  1. ary widi kristiani says:

    Setuju pendidikan berpusat pada anak, namun ingat juga fungsi pendidikan adalah mengajarkan asas Universal, mandiri, Prestasi dan Spesifitas. Tetapi secara standart mutu ada parameter-parameter yang ditentukan untuk mengukur kualitas pendidikan suatu bangsa dan perlu dikomunikasikan dua arah. Oleh karena itu pendapat saya tidak perlu gengsi suatu sekolah harus 100 % lulus dengan menghalalkan segala cara. Di negara majupun masih menyelenggarakan uji nasional, namun cara berpikirnya berbeda dengan kita kebanyakan masyarakat Indonesia hanya mencari prosentase kelulusan (gengsi), bukan proses pendidikan yang diutamakan. Oleh karena itu perlu di pahami filosofinya uji Nasional. Lebih lanjut bagi penyelenggara uji nasional baik pembuat soal dan kunci harus lebih kompeten dalam teknik dengan mempertimbangkan kemajemukan masyarakat. Tidak hanya itu bagaimana evaluasi, dan kontrolingnya pelaksanaannya. Karakter Kejujuran & integreted menjadi modal. Sukses selalu Bapak.




  2. sri mulyaningsih says:

    Saat ini target kelulusan ikut menjadi prestasi atau gengsi para pejabat (bupati atau walikota) shg sekolah kena imbasnya, sebetulnya UNAS kan jadi standart atau parameter tetapi malah jadi siswa dan org tua gemeter takut anaknya ga lulus. sebenarnya anak2 jaman sekarang pinter2 kok tinggal bagaimana mengakomodasi mereka ke alur yg benar sesuai dg bakat dan minat mereka. tapi kalau sistem pendidikan masih seperti ini (tidak pernah mau mengambil masalah di lapangan dan pejabat2 pendidikan bukan dari bidang pendidikan) tetap aja jalan buntu. kapan ya guru bisa jadi menteri pendidikan contohnya pak arif rahman, ayah edi, dll.




  3. OpenIDea says:

    lha iya tah… wong yang bayar sekolah itu orng tua… pemerintah itu anggaran sedikit banget.. bwt pendidikan coba lihat RAPBS sekolah negeri ,,, hampir 50% untuk biaya gaji PNS… sisanya sumbangan masyarakat… trus pemerintah mo ngatur2… khan nggak bener… ini cerita di sekolah negeri… apalgi di swasta yang 100% bisa dana masyarakat…

    gampannya : saya yg bayar sekolah anak saya. .. eh dibuat kelini percobaan sama pemerintah… (dengan UAN dll) apa nggak mangkel kalo anak kita sumpek dan setres gara2 UAN?




  4. Cahyadi says:

    tulisan yang sangat menarik.. Saya mau belajar seprti bapak2 dan ibu2 ini thx




  5. Mukhsin Kurnia says:

    Menurut saya (saya sendiri adalah masih seorang siswa SMA) keberadaan Ujian Nasional tetap harus dipertahankan, karena sesuai dengan cita-cita pendidikan, yaitu menciptakan insan-insan yang berkualitas dan mampu bersaing di tingkat global. Untuk mencapai standar tersebut, diperlukan insan-insan yang memiloiki kemauan untuk maju. Keberadaan Ujian Nasional harusnya menjadi barometer kompetensi anak didik di Indonesia - siapa yang kompeten dalam belajarnya dan siapa yang tidak. Yang harus diperbaiki dari UN bukanlah sistemnya, namun pelaksanaannya (yang masih banyak diwarnai kecurangan).

    Satu lagi, menganalogikan manusia dengan spesies hewan yang berlain-lainan menurut saya bukan hal yang tepat. Karena, manusia telah dianugerahi kemampuan dasar yang sama, tinggal bagaimana manusia tersebut, apakah mau sukses atau tidak. Toh, banyak orang cacat tubuh yang jago dalam olahraga bahkan mengalahkan kita yang tidak cacat. Tidak seperti hewan yang memang tidak diberi akal, dan tidak mampu melakukan sesuatu di luar kodratnya (misal: kucing bisa terbang???????omgomgomg)




Tinggalkan balasan