Kelas di Kolong Internet

Oleh: Lita Mariana

Saingan utama guru saat ini

Di zaman teknologi (tengah) maju saat ini, bukan hal yang mengejutkan jika tantangan terbesar guru setelah minat belajar anak adalah teknologi itu sendiri. Dalam bentuk Blackberry, iPhone, smartphone, komputer jinjing, atau telepon genggam ‘biasa’, barang-barang ini menjadi saingan saya berebut perhatian anak didik.

Satu-dua minggu pertama di awal semester, saya masih bersabar untuk menegur murid(-murid) yang perhatiannya teralih oleh gadget. Tak tanggung-tanggung, tangan sibuk mengetik di perangkat yang terletak di meja. Walau tak jarang juga murid berlaku dengan lebih ’sopan’: kepala dan mata tetap menatap lurus ke depan, tapi tatapannya kosong karena jemarinya sibuk mengetikkan sesuatu.

Tak hanya perhatian anak yang teralih, konsentrasi saya juga terganggu. Bagaimana tidak, di kepala saya jadi muncul pertanyaan “Dia sedang Facebook-an kali, ya?” atau “Jangan-jangan lagi ngerumpiin saya di messenger?”, ketimbang mengolah kata agar materi kimia yang sudah tergolong sulit ini lebih mudah dikunyah oleh murid.

Jawaban atas kebosanan

Lama-lama, kok bosan juga, ya. Setiap masuk kelas, yang terjadwal 4 hari dalam seminggu untuk setiap kelas, harus menegur “Nak, masukkan HP, Blackberry, apapun itu, ke tas. Jangan letakkan di meja”. Saya yakin sebagian anak juga mulai bosan, karena itu saya harus memikirkan cara lain agar kebosanan tidak membuat saya jadi kesal & marah-marah.

Blog. Mengapa tidak? Bermula dari sekadar tempat penitipan dokumen supaya mudah diakses (saya dan murid), akhirnya blog mengajar saya isinya jadi agak gado-gado sekarang. Temanya tetap sama: kelas dan kimia. Penamaan dan tema saya usahakan sesuai dengan ‘rasa’ kelas dan kimia. Quick, it’s chemistry!

Tagline blog ini terkadang juga menjadi celetukan murid di kelas, hampir seperti sapaan ketika saya masuk kelas setelah memberikan tugas atau akan mengadakan quiz. “It’s ms. Lita! Quick, it’s chemistry!”, celetuk anak-anak. Lucu juga. Saya sih senang saja.

Blog: isi gado-gado, yang penting enak, eh berguna

Dari aturan mendasar di kelas: tidak meletakkan (apalagi menggunakan) perangkat komunikasi -termasuk komputer jinjing- di luar penugasan, konsekuensi keterlambatan, informasi jadwal kuis, ujian, hingga berbagai pengumuman.

Intinya, apa yang saya ingin anak tahu, atau apa yang mereka butuh tahu, bisa saya bantu sediakan kapan saja, dan di manapun saya. Tentunya selama saya bisa membantu dan ada koneksi internet. PR, kuis dan ujian (yang lalu), silabus, soal-soal latihan, sampai tautan laman menarik/berguna yang saya temui, saya tampilkan di sana.

Tak ada lagi alasan, “Waduh, saya ngga masuk, ngga kebagian soal” atau “Saya ngga tahu kapan ada ujian susulan” atau “Saya sedang di luar kota, jadi nanti pulangnya baru bisa ambil soal”. Semua sudah tahu pranala blognya, semua sudah punya telepon genggam yang mumpuni, yang tahu duluan wajib memberi tahu teman-temannya.

Mereka belajar disiplin, tahu bahwa blog tersebut harus ditilik berkala kalau ingin tahu apakah ada pembaruan. Mereka belajar peduli, tahu bahwa saya menerapkan prinsip ‘ngga ada alasan, pokoknya… [...] salah sendiri ngga cari tau’ sehingga yang melongok duluan akan memberi tahu temannya. Mereka juga tak sungkan atau khawatir ketinggalan materi, sehingga pertanyaan pentingnya adalah “Sudah ada di blog belum?”.

Independensi, interdependensi dan batas ruang kelas dapat diatasi (salah satunya)dengan blog. Perjalanan masih panjang. Isi masih minim, fungsi masih dapat ditingkatkan. Asalkan ada kemauan, pasti ada jalan.

3 komentar to “Kelas di Kolong Internet”

  1. nena says:

    Setuju dengan ibu Lita.
    Memang independensi, interdependensi dan batas ruang kelas dapat diatasi salah satunya dengan blog. Tetapi penggunaan blog ini juga perlu dipelajari dan dibiasakan. Bagi sebagian mungkin mudah untuk bisa nyaman menggunakan blog, tetapi mungkin untuk sebagian lain tidak terlalu mudah.
    But, it’s a good start. :)




  2. Mendayagunakan Instant Messenger » Aksi Guru says:

    [...] kecemburuan saya pada perangkat komunikasi, mengapa tidak saya rangkul sekalian saja supaya tujuan saya tercapai, [...]




  3. ary widi kristiani says:

    okey.. okey saja tapi perlu di bangun kode etiknya.




Tinggalkan balasan