Oleh: Lita Mariana, S.T.
Bergaul dengan teknologi
Menyikut kecemburuan saya pada perangkat komunikasi, mengapa tidak saya rangkul sekalian saja supaya tujuan saya tercapai, toh? Cukuplah sirik-sirikannya di kelas saat saya sedang menerangkan pelajaran. Di luar itu, gadget dapat dijadikan teman karib dalam berkarya.
Sempat ditanyakan saat sesi tanya-jawab di penganugerahan dana hibah CSF 2009, “Apakah guru harus selalu mengikuti tren gaul media sosial murid? Melelahkan, bukan?”. Tentunya. Tapi tak ada yang tak memerlukan jerih payah, betul?
Friendster sudah berlalu. Facebook masih berjaya dengan fitur album foto dangames. Twitter menjadi media jelajah yang belum banyak didatangi guru (atau saya saja yang belum cukup gaul, mungkin). Masih ada Tumblr, Posterous, Google Wave, dan lainnya yang akan segera bermunculan. Jejaring sosial, yang dengan daya tarik unik masing-masing memikat pengguna untuk berinteraksi di dalamnya.
Jaim itu harus
Sebisanya, ikuti saja. Tak harus menjadi selebritas di setiap kanal. Setidaknya tahu benda apakah itu yang sedang digandrungi murid. Kalau bisa ikut ‘gaul’ di sana, lebih baik lagi. Memberi kesan bahwa guru terbuka sehingga mengurangi kesungkanan murid.
Dengan tahu banyak, murid dapat merasa yakin bahwa gurunya tak ketinggalan zaman dan menjaga kekinian informasi yang diterimanya. Pastinya, tak sekadar kesan, harus dipastikan bahwa guru juga senantiasa menjaga kebaruan ilmu yang dimiliki. Tak sekadar ilmu yang diampu, juga semua pesan Tuhan yang menjelma di setiap tutur dan laku manusia.
Dengan mengusir rasa malu -karena tidak tahu bagaimana caranya sehingga minta diajari murid- kita juga dapat menyampaikan pesan tak terucap, bahwa guru juga manusia. Bisa salah, bisa punya kekurangan, bisa tahu belakangan, bisa tidak tahu, bisa-bisanya kita mewujudkan ketidaksempurnaan sehingga murid tak merasa rikuh dengan ketidaksempurnaan yang mereka miliki.
Sama-sama tidak sempurna, akan lebih nyaman untuk bertanya, tidak takut-takut karena toh sang guru tidak akan melecehkan ketidaktahuan atau kesalahan yang dibuat murid.
Online tak sekadar punya email
Saya beruntung bisa memiliki koneksi internet tak-berbatas di rumah sehingga bisa online kapan saja dan selama yang saya ingin. Tentunya dibatasi oleh kantuk dan kebutuhan tubuh dan sosial. Ini saya manfaatkan untuk tutorialonline melalui instant messenger.
Perkenalan di kelas biasanya dimulai dengan nama, mata pelajaran yang diajar, email, blog, dan MSN/Yahoo ID. “Gaul banget sih, bu, punya MSN? Jangan-jangan punya Facebook & Twitter?”. Lha, apa salahnya menjadi gaul? Tidak ditabukan untuk mengenalkan jalur-jalur alternatif komunikasi dengan saya selain di kelas, toh?
Dan bisa dipastikan, walau tidak semua, murid akan merespon ‘tawaran’ jalur alternatif ini. Misalnya dengan menambahkan saya ke daftar kontak/teman, menyapa saat mendapati saya online, dan selanjutnya bertanya. Apalagi kalau bukan kimia, walau itu bukan satu-satunya topik obrolan.
Berkendala, tapi bisa disederhanakan
Memang ada sedikit kesulitan karena yang biasanya diajarkan dan dituliskan dengan mudah kini harus menggunakan bahasa tulis. Lebih lama, lebih ruwet. Tikaatas (superscript), tikabawah (subscript), simbol, dan alfabet Yunani memang jauh lebih mudah ditulis tangan daripada diketik.
Tak masalah, karena kedua pihak memiliki masalah yang sama. Asalkan tahu apa yang dibicarakan, kendala teknis menjadi tak berarti. Tikaatas dan bawah bisa dijelaskan kemudian dengan teks biasa.
Selain satu per satu, bisa juga dengan konferensi. Asalkan koneksi lancar dan cukup cepat, rasanya sama saja dengan memberi tutorial di kelas: kerumunan anak, semuanya bertanya/menjawab. Keuntungannya: saya (dan murid) bisa bersantai, ditinggal sebentar ke toilet, makan, atau kalau murid tidak beruntung ya saya ketiduran.
E-learning? Messenger juga bisa
Tutorial online memang bukan pilihan pertama untuk belajar interaktif. Tentunya, sekolah telah menyediakan waktu tutorial untuk setiap mata pelajaran dengan jumlah yang dirasa cukup. Jadwal tutorial akan ditambah menjelang musim ujian. Di luar itu ya murid harus berinisiatif memenuhi kebutuhannya.
Di saat genting (esoknya ujian) atau saya sakit sehingga hanya memberikan tugas mandiri misalnya, tutorial online menjadi jalan keluar yang menguntungkan. Murid tetap mendapat haknya, saya tetap dapat menunaikan kewajiban (hati, minimal), terlepas dari halangan yang ada.
Intinya, belajar melalui instant messenger bukan yang paling nyaman, tapi tidak berarti tidak dapat dibuat sederhana. Ini bisa menjadi satu cara belajar yang paling praktis dan efisien, sebelum koneksi internet Indonesia (dan jaringan institusi pendidikan) dapat mendukung video streaming.
Ini baru namanya e-learning. Bukan learning yang di-e-kan alias sekadar dibuat digital tapi tetap berbatas dinding kelas dan sekolah.
January 6th, 2010 at 2:32 pm
ya saya setuju dengan semua itu. Di jaman IT sebenarnya itu sangat memudahkan kita untuk bertukar info atau membangun komunikasi dalam pendidikan.
January 7th, 2010 at 1:05 pm
dengan IT juga kita (guru) dapat mengikuti trend anak anak/siswa sehingga kita lebih mudah memandu dan memfasilitasi, apa lagi banyak juga bahan ajar yang dapat membantu guru dalam kegiatan pembelajaran